<<<>>>
- Saat ini jual beli semakin berkembang dengan berbagai kemudahan dan modelnya.
- Seluruh transaksi tersebut perlu ditimbang sesuai syariat: mana yang baik sehingga bisa dimanfaatkan, mana yang buruk sehingga harus ditinggalkan.
- Sangat penting bagi para pelaku jual-beli online untuk memelajari hukum-hukum transaksi tersebut dalam Islam.
Rukun jual beli : | |||
1) pembeli 2) penjual | 3) barang 4) ijab-qabul | ||
Syarat jual beli: | |||
1) Ridha kedua pihak 2) Pelaku diperbolehkan untuk bertransaksi 3) Harta tersebut bermanfaat dan mubah (bukan barang haram) 4) Dimiliki/diizinkan untuk diperjualbelikan | 5) Bisa dipindahkan kepemilikannya 6) Jelas, tidak samar 7) Harganya jelas | ||
Transaksi jual-beli harus terbebas dari larangan-larangan dalam jual-beli, di antaranya: | |||
a) Riba b) Gharar (ketidakjelasan) c) Muzabanah (mengandung penipuan) | d) Najasy e) Transaksi terlarang lainnya | ||
Beberapa jenis transaksi dalam jual-beli online : | |||
a) Keagenan (terdapat akad wakalah) | b) Akad samsarah atau makelar/perantara | c) Dropshipping (termasuk akad salam) | |
(Rinciannya di dalam buletin)
<<<>>>
Perkembangan teknologi adalah salah satu nikmat dari Allah Ta’ala kepada kita. Dengan adanya teknologi terkini, banyak urusan dapat dituntaskan dengan lebih mudah. Di antara buah dari perkembangan teknologi tersebut adalah berkembangnya bidang jual-beli, sehingga perkara jual-beli kini menjadi lebih mudah dan luas. Selain itu, tercipta pula banyak peluang dan model baru dalam jual-beli.
Walaupun demikian, semua hal perlu tetap kita timbang dengan hukum syar’i, untuk memilah mana yang baik sehingga bisa kita manfaatkan, dan mana yang buruk sehingga kita tinggalkan. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (Q.S. An Nisa: 59).
Maka dari itu, sangat penting bagi para pelaku jual-beli online untuk mempelajari bagaimana hukumnya dalam Islam, jenis-jenis transaksinya, masalah-masalah yang ada, serta bagaimana solusinya. Artikel ini hanya akan membahas secara ringkas dan mendasar tentang jual-beli online. Semoga tetap memberi manfaat untuk kita semua.
Rukun dan syarat jual beli
Dalam aktivitas jual-beli, terdapat rukun dan syarat yang digariskan oleh Islam. Rukun dan syarat ini juga berlaku dalam jual-beli online melalui internet. Rukun jual beli ada empat poin:
[1] adanya pembeli
[2] adanya penjual
[3] adanya barang
[4] adanya ijab-qabul.
Ibnu Balban Ad Dimasyqi menyebutkan dalam matan Akhsharul Mukhtasharat (hal. 163), “Jual-beli sah dengan mu’athah (adanya pertukaran barang antara penjual dan pembeli) dan ijab qabul”.
Sedangkan syarat jual beli ada tujuh syarat. Ibnu Balban melanjutkan, “dengan memenuhi tujuh syarat:
[1] adanya ridha antara dua pihak
[2] pelaku jual-beli adalah orang yang dibolehkan untuk bertransaksi
[3] yang diperjual-belikan adalah harta yang bermanfaat dan mubah (bukan barang haram)
[4] harta tersebut dimiliki atau diizinkan untuk diperjual-belikan
[5] harta tersebut bisa dipindahkan kepemilikannya
[6] harta tersebut jelas tidak samar
[7] harganya jelas”
(Akhsharul Mukhtasharat, hal. 164).
Transaksi jual-beli juga harus terbebas dari larangan-larangan dalam jual-beli, di antaranya: transaksi riba, gharar (ketidak-jelasan), transaksi muzabanah (yang mengandung penipuan), transaksi najasy, dan transaksi terlarang lainnya.
Inilah –secara umum– landasan yang harus diperhatikan dalam jual-beli online. Jika Anda adalah pelaku jual-beli online, dan rukun-rukun serta syarat-syarat terpenuhi, juga tidak terjerumus dalam jual-beli yang terlarang, maka jual-beli anda boleh dan sah. Syaikh Abdurrahman bin Nashir Al Barrak mengatakan, “Selama jual-beli online tersebut bukanlah jual-beli emas dan perak atau jual beli mata uang, maka hukum asalnya boleh. Karena dalam jual beli online, barangnya jelas bagi pembeli dengan deskripsi sifatnya atau melihat gambar barangnya, dan harganya juga jelas.” (Fatawa Mauqi’ Syaikh Al Barrak, nomor 3529).
Berikut akan kita bahas secara ringkas beberapa jenis transaksi yang banyak diterapkan dalam jual-beli online.
Keagenan
Agen dalam KBBI diartikan sebagai orang atau perusahaan perantara yang meng-usahakan penjualan bagi perusahaan lain atas nama pengusaha; perwakilan. Maka dalam sistem keagenan ini terdapat akad wakalah.
Wakalah artinya perwakilan. Disebutkan dalam Al Fiqhul Muyassar (hal. 232), “Wakalah adalah seseorang mengutus orang lain untuk menggantikannya dalam urusan-urusan yang bisa digantikan”.
Di antara dalil bolehnya wakalah dalam jual beli, adalah firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Maka suruhlah salah seorang di antara kamu untuk pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini…” (Q.S. Al Kahfi: 19). Juga dalam hadits Jabir radhiallahu’anhu, ia berkata, “Aku berniat untuk pergi ke Khaibar, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘jika engkau bertemu dengan wakilku, maka ambil darinya 15 wasaq’…” (H.R. Abu Daud no. 3632, Ad Daruquthni, 4/155). Ulama pun berijma’ (sepakat) akan bolehnya wakalah dalam jual beli.
Namun dalam Al Fiqhul Muyassar (hal. 232) disebutkan syarat sah wakalah, di antaranya yang perlu diperhatikan adalah:
[1] wakalah terjadi pada perkara-perkara yang sah untuk diwakilkan
[2] batas kekuasaan wakil adalah sebatas yang diizinkan oleh muwakkil (yang mewakilkan)
[3] wakil tidak boleh menyerahkan mandat pada orang lain lagi, kecuali diizinkan oleh muwakkil
[4] wakil statusnya adalah orang yang memegang amanah, dan orang yang memegang amanah wajib mengganti rugi jika ada kerugian akibat kelalaiannya.
Dibolehkan adanya ujrah (komisi) dari wakalah sesuai dengan kesepakatan kedua pihak.
Makelar
Akad samsarah kita kenal dengan istilah makelar atau perantara. Definisi akad samsarah dalam Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah (10/151), “Samsarah adalah perantara antara penjual dan pembeli. Simsar adalah orang yang menjadi penengah antara penjual dan pembeli untuk menjalankan proses transaksi. Simsar disebut juga dallal, karena ia mengantarkan pembeli kepada barang yang ia cari, dan mengantarkan penjual kepada penjualan”.
Akad samsarah ini dibolehkan dalam syariat. Al Bukhari mengatakan dalam Shahih Bukhari, “Bab akad samsarah. Dibolehkan oleh Ibnu Sirin, Atha’, Ibrahim, dan Al Hasan”. Kemudian Al Bukhari menyebutkan dalil-dalilnya.
Para ulama berijma’ tentang bolehnya samsarah dengan nilai komisi yang fixed (tetap). Semisal seorang mengatakan, “silakan jualkan rumah ini, komisimu 50 juta rupiah“. Karena ini komisi yang ma’lum (diketahui). Namun ulama berselisih pendapat (khilaf) mengenai samsarah dengan komisi berupa nisbah (persentase). Jumhur ulama melarangnya karena termasuk gharar.
Akad samsarah atau makelar perlu memperhatikan beberapa hal:
[1] simsar (makelar) berlaku sebagai penengah antara penjual dan pembeli, ia tidak melakukan akad jual beli
[2] harga jual sesuai kesepakatan antara penjual dan makelar
[3] makelar tidak boleh mengubah harga di luar kesepakatan
[4] komisi dari penjual haruslah komisi yang fixed, bukan berupa prosentase dari harga barang.
Dropship
Jual-beli dengan sistem dropship termasuk akad salam. Disebutkan dalam Fiqhus Sunnah (3/171): “Akad salam adalah jual beli suatu barang yang disebutkan sifat-sifatnya dengan penyerahan barang tertunda, namun pembayaran kontan di awal”.
Akad salam dibolehkan dalam syariat dengan dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah. Dalil dari Al Qur’an, Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang telah ditentukan, hendaklah kamu menulisnya” (Q.S. Al-Baqarah: 282).
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Aku bersaksi bahwa akad salaf yang penyerahannya dilakukan dalam tempo tertentu telah dihalalkan dan diizinkan oleh Allah dalam Al Qur’an (kemudian beliau membaca ayat di atas)” (H.R. Al Hakim, Al Baihaqi, dishahihkan Al Albani dalam Al Irwa [1369]). Sebagaimana dahulu penduduk Madinah mereka memesan kurma dengan pembayaran di muka, lalu kurma diserahkan 2 atau 3 tahun setelahnya.
Syarat sahnya akad salam disebutkan dalam Al Mulakhas Al Fiqhi (283), yang perlu diperhatikan adalah:
[1] disebutkannya jenis dan sifat-sifat dari musallam fihi (barang yang diperjual-belikan dalam akad salam) secara rinci
[2] disebutkan tempo batas akhir penyerahan musallam fihi
[3] Musallam fihi harus merupakan barang yang dimungkinkan untuk didapatkan dalam tempo yang disepakati
[4] penyerahan uang di muka secara kontan di majelis akad.
Akad salam ini tidak termasuk pada larangan bai’ maa laa tamlik (jual beli barang yang belum dimiliki). Karena jual beli salam menjual barang yang maushuf (berdasarkan sifat) tidak spesifik. Yang dilarang oleh hadits bai’ maa laa tamlik adalah barang yang spesifik. Sebagaimana dijelaskan Ibnul Qayyim, “Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Hakim bin Hizam, ‘jangan menjual yang belum menjadi milikmu’ ini memiliki dua kemungkinan makna:
Pertama, seseorang menjual suatu barang yang spesifik, padahal itu bukan miliknya namun milik orang lain. Ia menjualnya, setelah itu ia baru berusaha membelinya dari pemiliknya lalu menyerahkannya kepada pembeli.
Kedua, ia ingin menjual barang yang tidak mampu ia serahkan walaupun dengan tempo (tidak langsung). Ia tidak mampu baik secara fisik maupun secara maknawi. Maka ia telah menjual sesuatu yang ia tidak ketahui apakah bisa didapatkan atau tidak.” (I’lamul Muwaqqi’in, 2/20).
Semoga yang sedikit ini bisa bermanfaat dan memberi semangat untuk terus mempelajari perkara halal-haram jual-beli dalam pandangan Islam. Semoga Allah Ta’ala memberi taufik kepada kita semua.
Penulis:
Ustaz Yulian Purnama, S.Kom. (Pengajar Ma’had Al Ilmi Yogyakarta)
Murajaah Ustaz Abu Salman, B.I.S.
[1]Salaf atau salam?